Jumat, 07 Januari 2011

Permasalahan Sektor Informal (PKL) dalam Konteks Penataan Kota di Surabaya


Masalah masyarakat kota (urban problems) merupakan isu yang paling esensi dan selalu hangat didalam politik, pemerintahan dan selalu menjadi perhatian media massa bahkan menjadi pembicaraan masyarakat sehari-hari (Castells, 1977). Perkembangan kota secara pesat (rapid urban growth) yang tidak disertai dengan pertumbuhan kesempatan pekerjaan yang memadai mengakibatkan kota-kota menghadapi berbagai ragam problem sosial yang sangat pelik (Alisjahbana, 2003). Tumbuh suburnya sektor ekonomi informal Kota adalah jawaban dari kondisi tersebut.
Keberadaan PKL mengundang dilematis. Ibarat dua sisi mata uang yang berbeda, penataan kota yang dihadapkan pada dua sisi dimana pada satu sisi, PKL dibutuhkan karena memiliki potensi ekonomi (Kuswardani dan Haryanto dalam Jurnal Ekonomi, 2005) berupa: menciptakan kesempatan kerja, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, meningkatkan ouput sektor riil, dan mengembangkan jiwa kewirausahaan. Bahkan jika PKL dikelola dengan baik dan bijak dapat menjadi sumber bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Surabaya (Kompas, 2003). Sedangkan sisi yang lain, PKL merusak estetika kota dengan kesemrawutan dan kekumuhannya. PKL menghambat lalu lintas dan merampas hak pejalan kaki. Keberadaannya dinilai sudah mengganggu kenyamanan dan keindahan kota, meski disatu sisi eksistensinya tetap dibutuhkan sebagai roda penggerak perekonomian masyarakat kecil (Pikiran Rakyat, 2004).
Karena PKL tidak lepas dari perannya sebagai penunjang aktivitas kota, dan sifatnya yang mempengaruhi kualitas kota maka dibutuhkan pendekatan dengan management yang baik untuk menyelesaikan permasalahan PKL yaitu dengan penataan yang mengakomodasi kebutuhan ruang PKL. Hal tersebut dirasa perlu mengingat salah satu kegagalan pemerintah dalam melaksanakan kebijakan sektor informal adalah sector penataan lokasi (Alisjahbana, 2004). Hal ini menekankan bahwa fenomena ekonomi informal, khususnya PKL di area perkotaan sulit diselesaikan secara parsial terbatas pada kebijakan kota tapi juga menyangkut persoalan struktural. Dengan kata lain, kebijakan penanganan PKL yang bersifat jangka pendek sebaiknya dilakukan bersamaan dengan pembenahan jangka panjang terhadap berbagai persoalan mendasar.


Permasalahan kegiatan ekonomi informal (PKL) dalam konteks penataan kota Surabaya
Pertumbuhan kegiatan ekonomi formal (PKL) di kota Surabaya

Kegiatan Ekonomi Informal
Jumlah pada tahun 2006
Jumlah pada tahun 2008
PKL
24.862
25.831

Sumber : Bappeko Surabaya (dikutip dari koran Kompas 14/01/2010)

Permasalahan kegiatan ekonomi di sektor informal terutama PKL merupakan permasalahan yang besar dan berdampak signifikan terhadap perkembangan kota Surabaya. Hal itu tak lepas dari pertumbuhan kegiatan ini yang ditinjau  dari tahun ke tahun selalu menunjukkan peningkatan. Adanya tren pertumbuhan secara eksplisit selalu dihubungkan/ dikaitkan dengan pola penciptaan tata ruang kota yang buruk. Adapun dasar pernyataan itu dapat diidentifikasi dari banyaknya aglomerasi kegiatan ini yang secara umum telah menimbulkan beberapa dampak terhadap keteraturan, kebersihan, dan keindahan/ penciptaan citra kota Surabaya secara makro.

1.      Pemanfaatan ruang publik sebagai tempat kegiatan usaha
Kegiatan sektor informal di Kota Surabaya telah menunjukkan dampaknya terhadap penggunaan ruang publik. Apabila ditinjau secara komprehensif terhadap permasalahan ini, kegiatan sektor informal di kota Surabaya sebagian besar selalu menepati area yang memiliki tingkat keramaian yang relatif tinggi dan adanya konsentrasi masyarakat terhadap area tersebut. Salah satu contohnya adalah adanya beberapa kegiatan PKL di kota Surabaya yang cenderung menepati lahan – lahan kosong di sepanjang ruas – ruas jalan utama maupun jalan kolektor/ lingkungan. Dengan aktivitas perdagangan di sekitar rumaja (ruang manfaat jalan) yang cenderung menimbulkan keramaian, maka secara tidak langsung kehadiran kegiatan ini akan menggangu pola pergerakan transportasi yang sebagian besar juga terjadi tatkala masuk pada jam – jam sibuk (peak hours). 
Selain itu, pada area ruang publik lainnya seperti yang terdapat di taman bungkul surabaya telah menujukkan adanya beberapa tahapan penggunaan lahan yang secara cepat mendorong kegiatan PKL untuk menepati beberapa lahan di sekitarnya. Oleh sebab itu, taman yang sejatinya digunakan untuk kepentingan ruang terbuka hijau dan ruang sosial kini mulai menunjukkan adanya perubahan arah menjadi lokasi sentra perdagangan PKL yang berdampak pada menurunnya keindahan taman akibat lemahnya pengaturan keteraturan lokasi perdagangan. 
Dengan demikian penggunaan ruang – ruang publik yang bukan untuk fungsi yang semestinya, yang selanjutnya menimbulkan “ketidaktertiban” seperti kegiatan PKL di sekitar ruas jalan dan trotoar akan merugikan orang lain maupun pelaku ekonomi informal itu sendiri juga pada konteks perkembangan kota.

2.      Aglomerasi kegiatan PKL yang berdampak pada keteraturan dan Kebersihan kota Surabaya
Kegiatan PKL secara umum telah menunjukkan adanya permasalahan pada penciptaan keteraturan dalam konteks penataan ruang di kota Surabaya. Hal itu ditinjau dari aglomerasi kegiatan PKL yang secara dominan menepati area – area ruang publik dengan posisi penempatan lapak yang tidak diatur secara baik, sehingga dalam menciptakan suatu kenyamanan dalam beraktifitas terutama kegiatan berdagang akan semakin memburuk. Bahkan dengan pola penataan yang tidak teratur tersebut, justru akan menghambat adanya upaya yang akan dilakukan untuk mengatur serta mengelola penempatan PKL agar mencapai suatu efektivitas penggunaan lahan.
Terdapat beberapa kegiatan sektor informal di Kota Surabaya yang menunjukkan adanya penataan yang buruk, salah satunya adalah adanya kegiatan PKL di area bantaran sungai. Walaupun di area ini tidak diperbolehkan untuk berbagai kegiatan, namun geliat kegiatan PKL ini masih terasa sangat besar di kota Surabaya. Hal ini menujukkan minimnya upaya untuk menciptakan kondisi yang teratur dan patuh terhadap regulasi/ kebijakan pemanfaatan ruang yang telah ditetapkan. Apabila ditinjau secara fisik, dengan kondisi warung/ lapak yang cenderung merapat dan bangunan semi permanen ini akan merusak kondisi lingkungan terutama pada orientasi keindahan kota dan dampak lain yang ditimbulkan seperti pembuangan limbah (padat/ cair) yang sebagian besar langsung dialirkan ke sungai.
Selain itu terdapat hubungan lainnya yang tak kalah penting yakni ketika kegiatan PKL di area bantaran ini mendapatkan perhatian yang besar oleh masyarakat dengan tingkat kunjungan yang relatif tinggi, maka lambat laun lahan yang biasanya digunakan untuk berdagang saja akan berubah menjadi lingkungan permukiman. Hal ini menjadi salah satu faktor timbulnya permukiman dengan kategori “squatter settlements”. Dengan demikian kegiatan ini telah serta merta menghambat tujuan perkembangan kota yang lebih berkelanjutan (dari aspek lingkungan) dan penciptaan citra kota Surabaya yang lebih baik.

3.      Salah satu penghambat proses pembangunan kota Surabaya
Pada akhir – akhir ini sering terjadi kegiatan pembongkaran/ penggusuran lapak pedagang oleh berbagai instansi terutama yang dilakukan dengan latar belakang keteraturan, kebersihan, dan lain – lain. Akan tetapi, apabila diidentifikasi lebih menyeluruh, kegiatan pembongkaran ini sesungguhnya lebih dimotori karena adanya beberapa kepentingan/ kebijakan lain berupa akan dilakukannya pembangunan pada area yang diduduki oleh kegiatan PKL. Hal ini biasanya mutlak dilakukan karena berdasarkan acuan rencana tata ruang yang telah ditetapkan, area yang masuk dalam proses pembangunan kota akan ditertibkan walaupun sudah terdapat banyak kegiatan perdagangan (PKL) sebelumnya. Hal itu diperkuat dengan tidak dimilikinya sertifikasi kepemilikan lahan oleh PKL sehingga pemerintah akan dengan leluasa bertindak situasional untuk menggusur. Namun tidak jarang justru penggusuran ini tidak mudah untuk dilakukan karena banyak masyarakat PKL yang melawan dan pada akhirnya harus pergi dengan selang waktu tertentu dan kembali menepati area itu lagi (survival). Oleh sebab itu, permasalahan ini akan menghambat beberapa kepentingan pemerintah untuk melakukan pembangunan yang sebagian besar justru dilakukan untuk kepentingan umum seperti pembangunan sarana dan prasarana (infrstruktur) yang secara cepat harus disediakan dan dilaksanakan. Dengan demikian, hal ini akan menunjukkan disparitas antara masyarakat dengan ketetapan rencana tata ruang yang ada. Bahkan kejadian ini dapat menjadi salah satu penyebab ketidakberhasilan pembangunan yang akan dilakukan dan juga secara implisit akan menggangu stabilitas perkembangan kota yang meningkat searah dengan keberagaman kebutuhan kota.

Agar tidak terjadi benturan kepentingan, pemerintah sudah seharusnya dapat mensosialisasikan program-programnya kepada pihak-pihak yang berkaitan dan khususnya kepada masyarakat. Kegiatan pensosialisasian ini tentunya memerlukan waktu, tenaga dan kearifan karena masyarakat pedagang memiliki tingkat pendidikan, pemahaman dan kearifan yang berbeda-beda, sehingga sasaran dan target menjadi jelas, terbuka dan dapat diterima oleh semua pihak.
Bagi para pedagang tentunya harus dapat legowo dan berbesar hati untuk mendukung upaya pemerintah dalam menciptakan suasana kota yang aman, nyaman dan asri untuk kepentingan seluruh kelompok masyarakat. Pedagang adalah bagian kelompok masyarakat yang memiliki peran penting dalam menggerakkan roda perekonomian nasional, peran penting ini seyogyanya dapat menjadi sinergi bagi pemerintah untuk memajukan perekonomian suatu wilayah.
Pemerintah dan pedagang tentunya dapat duduk bersama untuk membahas upaya penataan kota yang pas sehingga tidak merugikan salah satu pihak. Dalam arti pedagang mendapatkan keuntungan dari hasil perniagaan dan pemerintah dapat mewujudkan suasana perkotaan yang nyaman, aman dan tentram serta roda perekonomian masyarakat yang berjalan lancar.
Perbedaan pendapat yang mungkin terjadi harus dapat diimbangi dengan kebesaran hati dan komitmen bersama untuk memajukan daerah untuk menghasilkan keputusan yang bijaksana bagi pemerintah dan masyarakat pedagang.
Dalam proses pensosialisasian program tersebut pemerintah pasti akan mendapat input dari masyarakat pedagang dan kelompok masyarakat yang tentunya dapat menjadi feed back bagi kemajuan bersama. Apa dan bagaimana keinginan pedagang kaki lima dapat didengar oleh pemerintah. Begitu pula dengan program pemerintah untuk mewujudkan suatu wilayah kota yang aman, nyaman dan asri dapat dipahami oleh masyarakat pedagang kaki lima untuk dapat bekerjasama dengan pemerintah mewujudkan visi misi pemerintah.
Hal ini tentu akan lebih baik hasilnya daripada terjadi konflik yang akan menimbulkan kerugian dikedua belah pihak baik materil maupun non materil, dan yang pasti dengan dapat dihindarinya konflik yang berujung dengan bentrokan fisik, masyarakat pedagang kaki lima merasa aman dalam melaksanakan bisnisnya serta merasa terayomi dan pemerintah sebagai abdi negara dan abdi masyarakat bukan hanya sebagai slogan belaka tetapi benar-benar terwujud dalam kehidupan yang nyata.

4 komentar:

  1. terima kasih sebelumnya atas info yang telah Anda berikan...pembahasan Anda mengenai PKL terkait penanganan cukup memberikan solusi yang menarik...dimana pemerintah dan PKL seharusnya duduk bersama untuk saling memberikan opsi terhadap masalah penanganan yang applicable,,pemerintah sebagai pihak regulator memberikan wewenangnya serta PKL sebagai pihak yang merasakan dampak terhadap wewenang tersebut memberikan masukan terhadap regulasi yang dibuat sehingga regulasi yang dibuat oleh pemerintah tersebut dapat mengadopsi permintaan mereka dan pada akhirnya berujung pada win win solution..cukup sekian komentar dari saya...^__^

    BalasHapus
  2. terima kasih atas komentar yang telah diberikan saudari umi. memang sudah seharusnya upaya win win solution ini dilakukan antara PKL dan pemerintah agar kedua pihak dapat merasakan manfaat yang ada, dimana pemerintah dapat menjalankan programnya dengan baik untuk mewujudkan tata kota yang teratur dan PKL pun tetap dapat mencari pundi2 ekonomi dengan rasa aman tanpa ada ketakutan akan terjadinya konflik yang selama ini sering kita lihat.

    BalasHapus
  3. menurut saya dalam kasus anda, solusi manajemen konflik yang dapat diselesaikan dengan cara joint problem solving. joint problem solving itu bentuknya ya solusi yang anda berikan pemerintah dan para PKL dipertemukan untuk dicari win win solution antr kedua pihak.. :D

    BalasHapus
  4. sani: benar sekali yang anda katakan. memang solusi manajemen konflik yang saya usulkan pada artikel diatas bentuknya berupa joint problem solving. terimakasih ^^

    BalasHapus