Minggu, 19 Juni 2011

EVALUASI KINERJA PROGRAM EKONOMI MASYARAKAT PESISIR (PEMP) DI KECAMATAN TUGU, SEMARANG

I.    GAMBARAN PROGRAM
Melihat banyaknya masyarakat yang berprofesi nelayan khususnya pada Kecamatan Semarang Tugu, dipandang “perlunya kebijakan-kebijakan pembangunan khususnya pemberdayaan sosial ekonomi masyarakat nelayan (Kusnadi.2003:10)”. Kusnadi juga menjelaskan tujuan dari pemberdayaan ini dapat membantu meningkatkan pendapatan nelayan, distribusi pendapatan relatif merata dan kedepannya mobilitas vertikal nelayan dapat diraih secara bertahap. Proses pemberdayaan ini mengganggap nelayan sebagai pelaku utama yang menentukan tujuan, mengontrol sumberdaya dan mengarahkan proses yang mempengaruhi hidupnya. Pemanfaatan elemen modal sosial merupakan prasyarat dalam upaya pemberdayaan komunitas, khususnya komunitas nelayan.
Untuk mewujudkan kesejateraan masyarakat khususnya nelayan melalui pemberdayaan (empowering). Pemerintah memandang dengan potensi wilayah pesisir yang besar baik itu sumber daya alam maupun sumber daya manusia perlu adanya upaya dalam bentuk program yang berkelanjutan dan menyentuh langsung kesasarannya. Salah satu program yang bertujuan dan mendukung kearah tersebut adalah Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP). Program ini telah berjalan sejak tahun 2001, dimana tujuan dari program ini adalah penguatan ekonomi dengan modal usaha ekonomi produktif yang berasal dari masyarakat yang berbentuk social capital (modal sosial) seperti pendidikan, kesehatan, agama, lingkungan sumberdaya kelautan dan perikanan, permukiman dan infrakstruktur.
Namun keberhasilan program yang direncanakan masih menjadi tanda tanya, untuk kepentingan tersebut maka sangat perlu dilakukan studi evaluasi kinerja terhadap program sehingga efisiensi, efektifitas, pencapaian sasaran, serta faktor-faktor pendukung dan penghambatnya dapat teridentifikasi guna memperbaiki program selanjutnya. Harapan dari evaluasi ini agar dapat menilai sejauhmana keberhasilan pelaksanaan program yang telah berjalan. Dalam evaluasi ini mencoba untuk mendeskripsikan hasil, manfaat dan dampak pelaksanaan Program PEMP, dan untuk mengetahui pencapaian sasaran dan tujuan, sebab keberhasilan atau kegagalannya, serta berbagai jenis manfaat yang ditimbulkannya. Selanjutnya dengan mengetahui kekurangan, ketidakberhasilan dapat sebagai acuan untuk memberikan rekomendasi perbaikan perumusan kembali kebijakan (reformulation) atau penyesuaian (adjusment) yang akan datang.
Dari penjabaran tersebut, maka informan yang dipilih adalah sebagai berikut:
1) Staf Dinas Kelautan Perikanan Kota Semarang
2) Pengurus/Manajer/Pengelola kegiatan program PEMP di Kecamatan Tugu,
3) Masyarakat Pesisir di Kecamatan Tugu
Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) merupakan salah satu program unggulan yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat pesisir. Dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir melalui pemberdayaan ekonomi masyarakat. Kesejahteraan tidak hanya meliputi aspek ekonomi (pendapatan) tetapi juga meliputi aspek sosial (pendidikan, kesehatan dan agama), lingkungan dan infrastruktur. Pengembangan aspek ekonomi penting untuk meningkatkan iptek dan imtaq serta sikap dan perilaku. Aspek lingkungan penting untuk kelestarian sumber daya pesisir dan laut serta pemukiman. Aspek infrastrutur dibutuhkan untuk memperlancar mobilitas pelaksanaan kegiatan ekonomi dan sosial. Keempat aspek ini harus ditunjang oleh kelembagaan ekonomi yang kuat dan dikembangkan secara seimbang agar kesejahteraan dapat ditingkatkan secara optimal.

II.   PEMBAHASAN
Untuk mengetahui gambaran, maka evaluasi dilakukan menggunakan analisa kerangka logis (logical framework analysis) yang terdiri dari indicator masukan (input), keluaran (output), hasil (outcomes), manfaat (benefit) dan dampak (impact). Sehingga mendapat potret secara keseluruhan.
a.   POTRET INPUT/ MASUKAN
Berdasarkan temuan lapangan, potret Input dalam evaluasi ini meliputi sosialisasi program, dana dan SDM (sumber daya manusia).
·      SOSIALISASI PROGRAM
Upaya keberhasilan program diawali dengan sosialisasi program pada semua pihak terkait yang meliputi dinas teknis, masyarakat sasaran program, tokoh masyarakat dan lainnya guna mendapatkan respon dan masukan untuk penyempurnaan program yang telah disusun. Pada kondisi sosial (tingkat pendidikan dan mental), masyarakat pesisir belum memadai. Di sisi lain program dapat berjalan dengan baik dan berkesinambungan sangat diperlukan tenaga pendamping profesional, monitoring dan evaluasi harus dilakukan agar program dapat berjalan sesuai dengan harapan. Pendekatan program yang digunakan adalah partisipasi masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pelestarian pembangunan ekonomi masyarakat dan wilayahnya, keswadayaan (kemandirian) dalam pembangunan ekonomi masyarakat dan wilayahnya, kemitraan antara masyarakat aparat pemerintah dan swasta dalam mengembangkan kegiatan.
·      SUMBER DAYA MANUSIA (SDM)
Di samping itu, KSU LEEP M3 BSM (Koperasi Serba Usaha Lembaga Ekonomi Pengembangan Pesisir Micro Mitra Mina Bina Sejahtera Mandiri) sebagai lembaga yang profesional, maka perangkat kelembagaan, pola kerja, kualitas pendamping, operasioal dan seluruh aspek dalam kegiatan ekonomi yang biayai harus berperan aktif. Pengelolaan keuangan harus dapat transparan dan pembukuan yang benar sesuai dengan prinsip-prinsi program. Maka sumberdaya pengurus kelembagaanpun harus orang-orang yang terpercaya dan memiliki pengetahuan serta komitmen untuk mengembangkan sosial ekonomi para masayarakat pesisir.
·         DANA
Mengingat jumlah dana yang tersedia sangat terbatas dan jumlah masyarakat pesisir yang ada banyak, semestinya lebih mementingkan efektifitas dan produktivitas untuk mencapai tujuan program daripada mementingkan pemerataan sasaran. Kedepannya juga diperlukan keaktifan dari dinas kelautan dan perikanan kota Semarang untuk kembali mengucurkan dan PEMP untuk memperkuat pelaksanaan program. Di sisi lain, pentingnya konsistensi indikator penentuan masyarakat yang mendapat bantuan modal usaha, agar tidak menimbulkan masalah baru dengan adanya program seperti kecemburuan sosial dengan masyarakat pesisir lainnya. Hal ini penting karena penduduk yang ada pada wilayah Kecamatan Tugu tidak semua bermata pencaharian sebagai nelayan atau petambak.
b.  POTRET OUTPUT/KELUARAN
Potret Output dari hasil temuan lapangan terdiri dari ketertarikan masyarakat pesisir ikut program dan kelembagaan kegiatan.
·      TERTARIK IKUT PROGRAM
Masyarakat pesisir kesulitan dalam mengakses modal karena lembaga-lembaga yang ada sekarang kurang berperan aktif membantu masyarakat pesisir. Penggunaan sistem jaminan dirasakan menyulitkan masyarakat karena mereka kesulitan menyediakan jaminan untuk pengajuan kredit. Manfaat pendirian Swamitra Mina adalah diarahkan untuk mendorong masyarakat pesisir untuk mengembangankan kemitraan dengan kelembagaan swasta dan pemerintah. Hal ini malah membuat masyarakat pesisir semakin jauh dari makna pemberdayaan karena hanya orang-orang yang mampu secara ekonomi dapat mengakses kredit. Harapan yang ingin dicapai dengan penggunaan perguliran kredit menggunakan jaminan yang diterima berakibat masyarakat dapat meningkatkan kualitas SDM sehingga mampu dan mandiri. Tetapi malah masyarakat kesulitan untuk mandiri.
·      KELEMBAGAAN KEGIATAN
Hal yang diperoleh dengan pengembangan kelembagaan yaitu kesempatan untuk memperoleh pengelolaan keuangan dan pembinaan kegiatan usaha serta ketidak ketergantungan pada lembaga non formal (tengkulak) dan biaya yang harus dikeluarkan nelayan, maka nelayan akan mau mengulang untuk melakukannya. Menurut Rokhmin Dahuri (2001:267), pengembangan tersebut karena adanya pengorganisasian dan pengembangan kelembagaan yaitu pertama, peningkatan kemampuan pengurus lembaga dan mobilitas untuk bekerja pada lembaga. Kedua, menyediakan fasilitas ruang pertemuan, peralatan dan bahan lainnya untuk mengoperasikan kegiatan lembaga. Ketiga, adalah penyediaan dan operasional dan pemeliharaan serta pengembanganuntuk membiayai kegiatan lembaga. Diharapkan dengan adanya Swamitra Mina keterbatasan masyarakat pesisir dalam mengakses permodalan dapat diatasi. Kedepannya dengan kemudahan yang diberikan oleh Swamitra Mina untuk masyarakat pesisir memberikan perubahan dalam pengelolaan keuangan, penjualan, pemasaran serta produksi. Oleh karena itu, perhartian terhadap kedudukan dan fungsi lembaga ekonomi sangat penting pada kehidupan masyarakat pesisir.
c.   POTRET OUTCOMES/ HASIL
Potret Output dari hasil temuan lapangan digambarkan dengan penilaian masyarakat.
·      PENILAIAN MASYARAKAT
Pada awal pendiriannya KSU LEPP M3 BSM masih terbentur oleh kultur yang ada dimasyarakat. Menurut Badarudin (2005:28) “Kegagalan KUD (Koperasi Unit Desa) juga disebabkan oknum-oknum pengurus yang tidak transparan terhadap keuangan (persoalan moralitas), sehingga kepercayaan masyarakat terhadap koperasi menjadi hilang. Kondisi ini membuat masyarakat menjadi kecewa terhadap keberadaan koperasi”. Selanjutnya kondisi ini menurut Soetrisna dalam Arif Nasution (2005:38) “Hal ini disebut dengan istilah ‘trauma katalistik koperasi’ yaitu suatu kondisi dalam masyarakat yang mencerminkan keengganan mereka untuk mengembangkan koperasi karena mereka pernah mengalami suatu kejadian yang sangat tidak menggembirakan terhadap koperasi”. Unit usaha swamitra yang merupakan kerjasama dengan Bank Bukopin berdasarkan penilaian masyarakat telah memberikan kemudahan dalam pengajuan kredit. Masyarakat juga semakin berani mengajukan kredit tetapi masyarakat juga keberatan dengan adanya jaminan dalam pengajuan kredit. Kerjasama ini kedepannya perlu dikembangkan lagi dengan catatan system jaminan yang diperlakukan di tinjau ulang dengan harapan semakin memudahkan masyarakat pesisir untuk mengakses kredit secara mudah.
d.  POTRET BENEFIT/ MANFAAT
Potret benefit digambarkan dengan manfaat unit usaha dan kebutuhan alat terpenuhi.
·      MANFAAT UNIT USAHA
Apabila kita lihat prinsip pada program PEMP kegiatan Swamitra Mina mengharapkan adanya competitiveness yang mengharapkan nasabah maupun debitur dapat bersaing secara jujur dalam mengajukan usulan pinjaman kredit kepada Swamitra Mina, sehingga usaha-usaha yang baik dan mampu saja yang bisa mendapatkan kredit. Selain kelompok masyarakat pesisir kelompokkelompok lain yang tidak berusaha di bidang perikanan juga bisa mengajukan kredit. Seperti terlihat pada tabel diatas Swamitra Mina juga memberikan kepada masyarakat golongan lain, malah mengalami peningkatan dari tahun ketahun. Hal ini terlihat bahwa Swamitra Mina memberi kesempatan yang sama kepada kelompok lain agar memperoleh dan merasakan manfaatnya secara langsung, jadi prinsip dalam program PEMP yaiu Equality telah dijalankan oleh Swamitra Mina. Seperti yang kita ketahui kemiskinan pada masyarakat pesisir bukan hanya terjadi karena akses permodalan yang kurang, tetapi permasalahan yang bersifat teknis juga menjadi masalah. Seperti contoh kemampuan kita memasarkan produk dengan harga yang menguntungkan masih lemah, yang berakibat sumber pendapatan nelayan menjadi kurang karena tidak memiliki sarana pemasaran yang baik. Selain itu juga efek sampingnya ketika pendapatan nelayan kurang mereka terpaksa menghutang di sana–sini yang berakibat juga terhadap pengelolaan keuangan mereka.
·      KEBUTUHAN ALAT TERPENUHI
Penggunaan teknologi penangkapan yang modern tidak serta merta dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir dalam jangka panjang. Pemanfaatan sumber daya perikananan memang harus diorientasikan untuk mendorong peningkatan kualitas hidup masyarakat pesisir secara maksimal. Tersedianya peralatan dan perlengkapan tangkap ini dapat menghilangkan atau mengurangi pengaruh dari faktor-faktor penyebab kemiskinan. Apabila faktor peralatan yang semakin mudah didapatkan diharapkan dapat membantu pendapatan nelayan yang pada gilirannya nelayan akan giat dalam berusaha. Dulunya mereka melaut hanya menggunakan dan mengandalkan pancing sederhana atau kapal kecil, maka setelah mendapatkan kemudahan peralatan tangkap pola berusaha mereka telah berupa yang membuka peluang perbaikan penghasilan guna memenuhi kebutuhan hidup keluarga serta meningkatkan taraf kehidupan sosial ekonominya.
e.   POTRET IMPACT/ DAMPAK
Berdasarkan temuan lapangan, potret impact yaitu penguatan kelembagaan dan peningkatan pendapatan masyarakat sekitar.
·      PENGUATAN KELEMBAGAAN
Pengembangan koperasi ini sebenarnya juga menjadi tujuan dari program PEMP itu sendiri melalui peningkatan kemandirian masyarakat yang dilakukan melalui sarana unit-unit usaha dari koperasi. Pengembangan koperasi ini diharapakan dapat menghimpun dan dikembangkan potensi dari kreasi, tanggung jawab kolektif, prinsip swadaya dan sumber daya yang dimiliki masyarakat pesisir. Pengembangan kelembagaan pada koperasi ini yang perlu ditingkatkan adalah sumberdaya manusia terutama dalam hal perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengorganisasian dan kordinasi. Kekuatan kelembagaan sudah disahkan sebagai sebuah lembaga yang memiliki peran dan tanggung jawab dalam pelaksanaan program seperti pembinaan dan pengawasan yang diterapkan dalam program PEMP.
·      PEREKONOMIAN MASYARAKAT MENINGKAT
Kebehasilan dalam peningkatan pendapatan akan dipengaruhi oleh kegiatan usaha yang bisa dikembangkan dan permodalan yang dapat disediakan serta kondisi pasar yang mendukungnya. Kegiatan usaha itu sendiri keberhasilannya akan oleh kondisi sumber daya laut dan pesisir yang ada, teknologi yang tersedia, serta kualitas SDM yang akan mengelolanya kualitas sumberdaya manusia, kondisinya sangat dipengaruhi oleh lingkungan, tingkat pendidikan, kesehatan dan agama. Hal tersebut penting untuk diperhartikan dan dikembangkan dalam rangka pengembangan ekonomi meliputi manajemen usaha, kemitraan dan kelembagaan yang dikelolaanya. Pada pelaksanaannya program PEMP menurut masyarakat masih belum membantu mereka. Pendapatan mereka masih jauh dari harapan mereka, hal ini disebabkan kegiatan-kegiatan program PEMP kurang berperan aktif. Koperasi yang seharusnya memberikan penegetahuan dan keterampilan biasanya hanya memberi kesempatan kepada anggota koperasi untuk mengikutinya dan seperti yang kita ketahui persentase jumlah anggota koperasi jauh dari jumlah keseluruhan masyarakat pesisir Kecamatan Tugu.
III. PENUTUP
a.   KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dari evaluasi ini dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
·      Input program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) di Kecamatan Tugu antara lain sosialisasi dan dana dirasakan kurang mendukung pelaksanaan program. Kegiatan sosialisasi selama ini tidak memberikan informasi sehingga masyarakat kurang memahami program. Pendanaan program yang selama ini berasal dari pemerintah masih jauh dari harapan. Sedangkan sumber daya manusia pelaksana program PEMP sudah sesuai karena merupakan orang-orang sekitar dan sudah paham kondisi wilayahnya.
·      Output program PEMP adalah ketertarikan ikut program karena masyarakat pesisir ingin meningkatkan hasil tangkapan. Salah satu caranya adalah dengan mendirikan lembaga keuangan mikro swamitra yang memberikan akses kredit kepada masyarakat. Tetapi dengan adanya sistem kredit menggunakan jaminan menyulitkan masyarakat untuk mengakses kredit. Secara kelembagaan program PEMP sudah sesuai dengan perencanaan, hal ini terlihat dari peningkatan peningkatan kelembagaan itu sendiri.
·      Outcomes program PEMP adalah penilaian masyarakat terhadap koperasi dan unit usaha masih dianggap kurang bermanfaat, mereka takut akan keberlangsungan koperasi. Ketakutan masyarakat juga karena adanya ketakutan untuk berhubungan dengan pihak perbankkan. Hal ini juga ditambah dengan adanya jaminan untuk mengambil kredit.
·      Benefit program PEMP berdasarkan pengamatan kurang memberi hasil kepada masyarakat. Kelompok-kelompok yang dibentuk hanya merupakan instrumen untuk mendapatkan modal. Kegiatan pendampingan yang seharusnya dilakukan oleh kelembagaan yang telah dibentuk tidak optimal. Sedangkan kebutuhan alat yang merupakan kebutuhan utama masyarakat nelayan belum bisa dipenuhi oleh kedai pesisir.
·      Impact program PEMP adalah penguatan kelembagaan masih dirasakan kurang berkembang. Ketidakberhasilan ini juga disebabkan kurang aktifnya partisipasi masyarakat akibat syarat keanggotaan yang memberatkan. Hal ini juga berdampak langsung terhadap peningkatan pendapatan masyarakat.
b.  SARAN
Setelah melakukan evaluasi ini saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut :
·      Agar pelaksanaan program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) dapat berjalan mendukung keberhasilan dapat dimulai dengan sosialisasi yang tidak hanya tingkat kecamatan tapi sampai tingkat kelurahan.
·      Untuk meningkatkan ketertarikan masyarakat terhadap program PEMP kedepan lembaga swamitra harus lebih aktif lagi menggulirkan kredit kepada masyarakat yang membutuhkan. Perguliran kredit juga diupayakan kepada masyarakat yang secara ekonomi lemah tetapi usahanya berkembang baik dengan cara menghilangkan jaminan.
·      Kedepannya agar penilaian masyarakat terhadap program PEMP berkembang persyaratan untuk mengakses akses kredit yang masih dirasa menyulitkan masyarakat perlu dihilangkan untuk mengurangi ketakutan masyarakat akan lembaga keuangan. Kerjasama dengan Bank Bukopin perlu ditinjau ulang dimana kedepan diupayakan untuk memberikan kemudahan jaminan untuk mengambil kredit.
·      Untuk meningkatkan manfaat program PEMP seharusnya kelembagaan yang sudah dibentuk harus lebih aktif dalam memberikan pendampingan. Kelembagaan yang ada juga diharapkan bisa memberikan akses penjualan hasil tangkapan maupun tambak kepada pihak lain untuk membantu peningkatan penjualan dan produksi tangkapan dan tambak.
·      Untuk meningkatkan partisipasi masyarakat kedepannya persyaratan menjadi anggota koperasi dikurangi untuk menjangkau masyarakat yang kurang mampu. Kedepannya juga agar koperasi dapat mengadakan pelatihan dan seminar bagi semua masyarakat tanpa memandang anggota maupun bukan anggota koperasi. Diharapkan dengan peningkatan keterampilan masyarakat akan juga memberikan peningkatan pendapatan masyarakat pesisir sehingga pemberdayaan yang diharapkan program PEMP dapat dicapai.


Sumber: Andi Muhammad Ferdiansyah

Minggu, 09 Januari 2011

Nasib Pembiayaan Pembangunan Monorel Jakarta Selanjutnya???


Nasib proyek monorel kian tak menentu semenjak kasus pembiayaannya terhenti ditangan swasta pada Oktober 2007 yang dipegang oleh PT. Jakarta Monorel (PT. JM). Akibat gagalnya PT. JM dalam menggandeng investor pendanaan proyek Monorel tersebut, sehingga proyek senilai kurang lebih 5,4 triliun rupiah menjadi mangkrak. Pembangunan yang pada awalnya dinyatakan sanggup oleh pihak PT. JM akhirnya terhenti ditengah jalan atau bahkan masih berjalan kurang dari setengah perjalanan. Bangunan yang ada menyisakan tiang pancang yang mangkrak disejumlah ruas jalan seperti di Jalan Asia-Afnka, Senayan, dan Jalan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan sehingga tentu saja merusak esetika kota.

Lantas bagaimana nasib monorel Jakarta selanjutnya??? Belajar dari pengalaman yang ada, jika Pemprov akan melanjutkan proyek tersebut harus dilandasi dengan dasar hukum yang kuat. Hal ini diperlukan guna mengantisipasi berbagai kemungkinan terjadinya kesalahpahaman dalam pengerjaan proyek seperti yang terjadi selama ini.

Pembangunan kembali monorel sangat mungkin terus dilanjutkan. Namun hal tersebut harus dilakukan dengan cara bekerjasama dengan pemerintah pusat yang berperan sebagai salah satu donator pembiayaan proyek. Solusi yang paling tepat untuk melanjutkan proyek tersebut adalah dengan kerjasama antara pemerintah pusat dan DKI apabila pihak swasta dalam hal ini PT. JM tidak bersedia melanjutkan pembangunan monorel dan menyerahkannya pada Pemprov DKI untuk dilanjutkan, terlebih lagi hingga saat ini belum ada pihak swasta yang menawarkan sebagai investor pembangunan monorel. Bentuk kejasama antara pemerintah pusat dan daerah tersebut dapat berupa skema kerjasama pembiayaan pemerintah pusat sebesar 42 persen dan pemerintah daerah sebesar 58 persen. Atau dengan cara pemerintah pusat mengurus pengadaan rel, sedangkan daerah menyediakan gerbong berikut sarana pendukungnya. Jika hal tersebut dilakukan, dimungkinkan pembangunan kembali monorel akan bisa berjalan tanpa hambatan.

Untuk melanjutkan proyek tersebut diperlukan dana tidak sedikit, yakni mencapai triliunan rupiah. Pembangunan monorel akan kembali gagal jika hanya mengandalkan APBD DKI. Bukan hanya karena biaya pembangunan proyek tersebut sangat mahal namun dari hasil analisis, biaya operasional dan pemeliharaan monorel nantinya juga relatif mahal. Karenanya, jika memang Pemprov serius ingin melanjutkan, maka harus melibatkan pemerintah pusat. Caranya, bisa dengan meminta bantuan untuk terlibat dalam proyek tersebut seperti yang telah dijelaskan diatas. Jadi model pembiayaan yang dapat dilakukan untuk merampungkan proyek pembangunan monorel yaitu dengan cara kerjasama dengan pemerintah, dimana pemerintah nantinya akan memberikan garansi pinjaman luar negeri jika sumber pembiayaan berasal dari pinjaman luar negeri.

Memang sebenarnya kegiatan pembangunan proyek tidak bisa dikelola murni oleh swasta. Kalaupun tetap ingin menggandeng pihak swasta, pemprov harus benar-benar memperhatikan pihak swasta yang akan diajak bekerjasama, karena sebelumnya sudah terbukti dengan dipegang investor swasta penuh pelaksanaan proyek monorel tersebut terhenti sebelum terselesaikan.

Jumat, 07 Januari 2011

Permasalahan Sektor Informal (PKL) dalam Konteks Penataan Kota di Surabaya


Masalah masyarakat kota (urban problems) merupakan isu yang paling esensi dan selalu hangat didalam politik, pemerintahan dan selalu menjadi perhatian media massa bahkan menjadi pembicaraan masyarakat sehari-hari (Castells, 1977). Perkembangan kota secara pesat (rapid urban growth) yang tidak disertai dengan pertumbuhan kesempatan pekerjaan yang memadai mengakibatkan kota-kota menghadapi berbagai ragam problem sosial yang sangat pelik (Alisjahbana, 2003). Tumbuh suburnya sektor ekonomi informal Kota adalah jawaban dari kondisi tersebut.
Keberadaan PKL mengundang dilematis. Ibarat dua sisi mata uang yang berbeda, penataan kota yang dihadapkan pada dua sisi dimana pada satu sisi, PKL dibutuhkan karena memiliki potensi ekonomi (Kuswardani dan Haryanto dalam Jurnal Ekonomi, 2005) berupa: menciptakan kesempatan kerja, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, meningkatkan ouput sektor riil, dan mengembangkan jiwa kewirausahaan. Bahkan jika PKL dikelola dengan baik dan bijak dapat menjadi sumber bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Surabaya (Kompas, 2003). Sedangkan sisi yang lain, PKL merusak estetika kota dengan kesemrawutan dan kekumuhannya. PKL menghambat lalu lintas dan merampas hak pejalan kaki. Keberadaannya dinilai sudah mengganggu kenyamanan dan keindahan kota, meski disatu sisi eksistensinya tetap dibutuhkan sebagai roda penggerak perekonomian masyarakat kecil (Pikiran Rakyat, 2004).
Karena PKL tidak lepas dari perannya sebagai penunjang aktivitas kota, dan sifatnya yang mempengaruhi kualitas kota maka dibutuhkan pendekatan dengan management yang baik untuk menyelesaikan permasalahan PKL yaitu dengan penataan yang mengakomodasi kebutuhan ruang PKL. Hal tersebut dirasa perlu mengingat salah satu kegagalan pemerintah dalam melaksanakan kebijakan sektor informal adalah sector penataan lokasi (Alisjahbana, 2004). Hal ini menekankan bahwa fenomena ekonomi informal, khususnya PKL di area perkotaan sulit diselesaikan secara parsial terbatas pada kebijakan kota tapi juga menyangkut persoalan struktural. Dengan kata lain, kebijakan penanganan PKL yang bersifat jangka pendek sebaiknya dilakukan bersamaan dengan pembenahan jangka panjang terhadap berbagai persoalan mendasar.


Permasalahan kegiatan ekonomi informal (PKL) dalam konteks penataan kota Surabaya
Pertumbuhan kegiatan ekonomi formal (PKL) di kota Surabaya

Kegiatan Ekonomi Informal
Jumlah pada tahun 2006
Jumlah pada tahun 2008
PKL
24.862
25.831

Sumber : Bappeko Surabaya (dikutip dari koran Kompas 14/01/2010)

Permasalahan kegiatan ekonomi di sektor informal terutama PKL merupakan permasalahan yang besar dan berdampak signifikan terhadap perkembangan kota Surabaya. Hal itu tak lepas dari pertumbuhan kegiatan ini yang ditinjau  dari tahun ke tahun selalu menunjukkan peningkatan. Adanya tren pertumbuhan secara eksplisit selalu dihubungkan/ dikaitkan dengan pola penciptaan tata ruang kota yang buruk. Adapun dasar pernyataan itu dapat diidentifikasi dari banyaknya aglomerasi kegiatan ini yang secara umum telah menimbulkan beberapa dampak terhadap keteraturan, kebersihan, dan keindahan/ penciptaan citra kota Surabaya secara makro.

1.      Pemanfaatan ruang publik sebagai tempat kegiatan usaha
Kegiatan sektor informal di Kota Surabaya telah menunjukkan dampaknya terhadap penggunaan ruang publik. Apabila ditinjau secara komprehensif terhadap permasalahan ini, kegiatan sektor informal di kota Surabaya sebagian besar selalu menepati area yang memiliki tingkat keramaian yang relatif tinggi dan adanya konsentrasi masyarakat terhadap area tersebut. Salah satu contohnya adalah adanya beberapa kegiatan PKL di kota Surabaya yang cenderung menepati lahan – lahan kosong di sepanjang ruas – ruas jalan utama maupun jalan kolektor/ lingkungan. Dengan aktivitas perdagangan di sekitar rumaja (ruang manfaat jalan) yang cenderung menimbulkan keramaian, maka secara tidak langsung kehadiran kegiatan ini akan menggangu pola pergerakan transportasi yang sebagian besar juga terjadi tatkala masuk pada jam – jam sibuk (peak hours). 
Selain itu, pada area ruang publik lainnya seperti yang terdapat di taman bungkul surabaya telah menujukkan adanya beberapa tahapan penggunaan lahan yang secara cepat mendorong kegiatan PKL untuk menepati beberapa lahan di sekitarnya. Oleh sebab itu, taman yang sejatinya digunakan untuk kepentingan ruang terbuka hijau dan ruang sosial kini mulai menunjukkan adanya perubahan arah menjadi lokasi sentra perdagangan PKL yang berdampak pada menurunnya keindahan taman akibat lemahnya pengaturan keteraturan lokasi perdagangan. 
Dengan demikian penggunaan ruang – ruang publik yang bukan untuk fungsi yang semestinya, yang selanjutnya menimbulkan “ketidaktertiban” seperti kegiatan PKL di sekitar ruas jalan dan trotoar akan merugikan orang lain maupun pelaku ekonomi informal itu sendiri juga pada konteks perkembangan kota.

2.      Aglomerasi kegiatan PKL yang berdampak pada keteraturan dan Kebersihan kota Surabaya
Kegiatan PKL secara umum telah menunjukkan adanya permasalahan pada penciptaan keteraturan dalam konteks penataan ruang di kota Surabaya. Hal itu ditinjau dari aglomerasi kegiatan PKL yang secara dominan menepati area – area ruang publik dengan posisi penempatan lapak yang tidak diatur secara baik, sehingga dalam menciptakan suatu kenyamanan dalam beraktifitas terutama kegiatan berdagang akan semakin memburuk. Bahkan dengan pola penataan yang tidak teratur tersebut, justru akan menghambat adanya upaya yang akan dilakukan untuk mengatur serta mengelola penempatan PKL agar mencapai suatu efektivitas penggunaan lahan.
Terdapat beberapa kegiatan sektor informal di Kota Surabaya yang menunjukkan adanya penataan yang buruk, salah satunya adalah adanya kegiatan PKL di area bantaran sungai. Walaupun di area ini tidak diperbolehkan untuk berbagai kegiatan, namun geliat kegiatan PKL ini masih terasa sangat besar di kota Surabaya. Hal ini menujukkan minimnya upaya untuk menciptakan kondisi yang teratur dan patuh terhadap regulasi/ kebijakan pemanfaatan ruang yang telah ditetapkan. Apabila ditinjau secara fisik, dengan kondisi warung/ lapak yang cenderung merapat dan bangunan semi permanen ini akan merusak kondisi lingkungan terutama pada orientasi keindahan kota dan dampak lain yang ditimbulkan seperti pembuangan limbah (padat/ cair) yang sebagian besar langsung dialirkan ke sungai.
Selain itu terdapat hubungan lainnya yang tak kalah penting yakni ketika kegiatan PKL di area bantaran ini mendapatkan perhatian yang besar oleh masyarakat dengan tingkat kunjungan yang relatif tinggi, maka lambat laun lahan yang biasanya digunakan untuk berdagang saja akan berubah menjadi lingkungan permukiman. Hal ini menjadi salah satu faktor timbulnya permukiman dengan kategori “squatter settlements”. Dengan demikian kegiatan ini telah serta merta menghambat tujuan perkembangan kota yang lebih berkelanjutan (dari aspek lingkungan) dan penciptaan citra kota Surabaya yang lebih baik.

3.      Salah satu penghambat proses pembangunan kota Surabaya
Pada akhir – akhir ini sering terjadi kegiatan pembongkaran/ penggusuran lapak pedagang oleh berbagai instansi terutama yang dilakukan dengan latar belakang keteraturan, kebersihan, dan lain – lain. Akan tetapi, apabila diidentifikasi lebih menyeluruh, kegiatan pembongkaran ini sesungguhnya lebih dimotori karena adanya beberapa kepentingan/ kebijakan lain berupa akan dilakukannya pembangunan pada area yang diduduki oleh kegiatan PKL. Hal ini biasanya mutlak dilakukan karena berdasarkan acuan rencana tata ruang yang telah ditetapkan, area yang masuk dalam proses pembangunan kota akan ditertibkan walaupun sudah terdapat banyak kegiatan perdagangan (PKL) sebelumnya. Hal itu diperkuat dengan tidak dimilikinya sertifikasi kepemilikan lahan oleh PKL sehingga pemerintah akan dengan leluasa bertindak situasional untuk menggusur. Namun tidak jarang justru penggusuran ini tidak mudah untuk dilakukan karena banyak masyarakat PKL yang melawan dan pada akhirnya harus pergi dengan selang waktu tertentu dan kembali menepati area itu lagi (survival). Oleh sebab itu, permasalahan ini akan menghambat beberapa kepentingan pemerintah untuk melakukan pembangunan yang sebagian besar justru dilakukan untuk kepentingan umum seperti pembangunan sarana dan prasarana (infrstruktur) yang secara cepat harus disediakan dan dilaksanakan. Dengan demikian, hal ini akan menunjukkan disparitas antara masyarakat dengan ketetapan rencana tata ruang yang ada. Bahkan kejadian ini dapat menjadi salah satu penyebab ketidakberhasilan pembangunan yang akan dilakukan dan juga secara implisit akan menggangu stabilitas perkembangan kota yang meningkat searah dengan keberagaman kebutuhan kota.

Agar tidak terjadi benturan kepentingan, pemerintah sudah seharusnya dapat mensosialisasikan program-programnya kepada pihak-pihak yang berkaitan dan khususnya kepada masyarakat. Kegiatan pensosialisasian ini tentunya memerlukan waktu, tenaga dan kearifan karena masyarakat pedagang memiliki tingkat pendidikan, pemahaman dan kearifan yang berbeda-beda, sehingga sasaran dan target menjadi jelas, terbuka dan dapat diterima oleh semua pihak.
Bagi para pedagang tentunya harus dapat legowo dan berbesar hati untuk mendukung upaya pemerintah dalam menciptakan suasana kota yang aman, nyaman dan asri untuk kepentingan seluruh kelompok masyarakat. Pedagang adalah bagian kelompok masyarakat yang memiliki peran penting dalam menggerakkan roda perekonomian nasional, peran penting ini seyogyanya dapat menjadi sinergi bagi pemerintah untuk memajukan perekonomian suatu wilayah.
Pemerintah dan pedagang tentunya dapat duduk bersama untuk membahas upaya penataan kota yang pas sehingga tidak merugikan salah satu pihak. Dalam arti pedagang mendapatkan keuntungan dari hasil perniagaan dan pemerintah dapat mewujudkan suasana perkotaan yang nyaman, aman dan tentram serta roda perekonomian masyarakat yang berjalan lancar.
Perbedaan pendapat yang mungkin terjadi harus dapat diimbangi dengan kebesaran hati dan komitmen bersama untuk memajukan daerah untuk menghasilkan keputusan yang bijaksana bagi pemerintah dan masyarakat pedagang.
Dalam proses pensosialisasian program tersebut pemerintah pasti akan mendapat input dari masyarakat pedagang dan kelompok masyarakat yang tentunya dapat menjadi feed back bagi kemajuan bersama. Apa dan bagaimana keinginan pedagang kaki lima dapat didengar oleh pemerintah. Begitu pula dengan program pemerintah untuk mewujudkan suatu wilayah kota yang aman, nyaman dan asri dapat dipahami oleh masyarakat pedagang kaki lima untuk dapat bekerjasama dengan pemerintah mewujudkan visi misi pemerintah.
Hal ini tentu akan lebih baik hasilnya daripada terjadi konflik yang akan menimbulkan kerugian dikedua belah pihak baik materil maupun non materil, dan yang pasti dengan dapat dihindarinya konflik yang berujung dengan bentrokan fisik, masyarakat pedagang kaki lima merasa aman dalam melaksanakan bisnisnya serta merasa terayomi dan pemerintah sebagai abdi negara dan abdi masyarakat bukan hanya sebagai slogan belaka tetapi benar-benar terwujud dalam kehidupan yang nyata.